KENDALA
& ILUSTRASI PEMBIAYAAN BAGI HASIL BANK SYARIAH DI INDONESIA
RANIA
FARAH SALSABILA
MKPS
2018
6 oktober 2019
Kendala
Pemahaman
yang ada pada praktisi perbankan tentang prinsip bertransaksi begitu sempit sehingga
mengakibatkan adanya pembatasan ruang gerak perbankan syariah dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat. Itulah yang mengakibatkan, industri keuangan syariah di
Indonesia masih relative kecil dengan pangsa pasar (market
share) 5%-7%, khusus perbankan syariah pangsa pasar baru mencapai 5% jika
dibandingan pangsa pasar perbankan syariah di Malaysia yang mencapai 20-25%.
Hubungan bank dengan
nasabah dalam bank syariah adalah hubungan kontrak (contractual agreement) atau akad antara investor pemilik dana atau
shahibul maal (principal) dengan
penglola dana atau mudharib (agent)
yang bekerja sama untuk melakukan usaha yang produktif dan bebagai keuntungan
secara adil. Tetapi, kadang terdapat perbedaan kepentingan ekonomi antara principal dengan agent
sehingga menimbulkan permasalahan agency theory.
Hubungan kontrak
keuangan seperti dalam mudharabah biasanya dikenal dengan nama hubungan
keagenan. Oleh karena itu, kontrak seperti ini menuntut adanya transparansi
bagi kedua belah pihak. Jika salah satu pihak (utamanya nasabah) tidak menyampaikan
secara transparan tentang hal-hal yang berhubungan dengan perolehan
hasil, sehingga dapat terjadi aktivitas adverse selection yaitu
masalah yang timbul dalam menyeleksi nasabah yang akan diberikan pembiayaan,
hal ini disebabkan karena susahnya pihak bank untuk mengetahui dengan pasti
kriteria yang dimiliki calon nasabah, bank mungkin akan salah dalam menilai
kriteria nasabah.
Rendahnya porsi
pembiayaan mudharabah terkait dengan belum siapnya bank syariah untuk menyalurkan pembiayaannya dalam
bentuk akad mudharabah, hal ini disebabkan masih kurangnya sumber daya
manusia yang menguasai hukum syariah Islam. Bank syariah menghadapi
masalah yang melekat pada kontrak mudharabah yaitu adanya asymmetric information. Asymmetric information adalah
perbedaan informasi yang didapatkan antara pihak bank syariah dan nasabah,
dalam hal ini nasabah lebih banyak mengetahui tentang keadaan usaha yang
dijalankannya berbanding terbalik dengan pihak bank syariah sehingga
kemungkinan terjadinya penyimpangan sangat besar.
Ilustrasi
Pada tanggal 12 Januari
20XA, BPRS Bangun Marwah Warga (BMW) dan Bapak Hendra menandatangani akad
musyarakah permanen untuk pembiayaan
usaha fotokopi senilai Rp 40.000.000, yang terdiri dari Rp 30.000.000
kontribusi BPRS dan Rp 10.000.000 kontribusi Bapak Hendra. Bagi hasil
didasarkan pada laba bruto (penjualan dikurangi biaya kertas) dengan nisbah
bagi hasil 20% BPRS dan 80% Bapak Hendra. Bagi hasil disepakati untuk dibayar
dan dilaporkan setiap tanggal 20 mulai bulan Februari. Pembiayaan musyarakah
disepakati jatuh tempo pada tanggal 20 April 20XA.
JURNAL
- Tanggal 12 Januari BPRS (saat akad)
membuka cadangan pembiayaan musyarakah untuk Bapak Hendra.
12/01/XA Db. Pos lawan komitmen administrative pembiayaan Rp 30.000.000
Kr. Kewajiban komitmen administrative
pembiayaan Rp 30.000.000
- Tanggal 12 Januari (saat akad) BPRS
membebankan biaya administrasi sebesar 0,2% dari nilai pembiayaan dan langsung diambil
dari rekening Bapak Hendra.
12/01/XA Db. Kas/Rekening nasabah-Bapak Hendra Rp 60.000
Kr. Pendapatan administrasi Rp.
60.000
- Tanggal 20 Januari BPRS mentransfer
sebesar Rp 30.000.000 ke rekening Bapak Hendra sebagai pembayaran porsi investasi
BPRS.
20/01/XA Db. Pembiayaan musyarakah Rp. 30.000.000
Kr. Kas/Rekening nasabah Rp. 30.000.000
Db. Kewajiban komitmen administrative Rp.
30.000.000
Kr. Pos lawan komitmen administrative
Rp. 30.000.000
- Tanggal 20 Februari 20XA Bapak Hendra
melaporkan lama bruto usahanya sebesar Rp. 5.000.000 dan pada tanggal yang sama
membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto.
20/02/XA Db. Kas/Rekening nasabah Rp. 1.000.000
Kr. Pendapatan bagi
hasil musyarakah RP. 1.000.000
(20%
x 5.000.000)
- Tanggal 20 Maret 20XA Bapak Hendra
melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp. 4.000.000 dan membayarkan secara
tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto pada tanggal 25 Maret 20XA.
20/03/XA Db. Piutang pendapatan bagi hasil musyarakah Rp. 800.000
Kr. Pendapatan bagi
hasil musyarakh-akrual Rp.
800.000
25/03/XA Db. Kas/rek.nasabah Rp. 800.000
Kr. Piutang pendapatan
bagi hasil Rp.
800.000
Db. Pendapatan bagi hasil musyarakah-akrual Rp. 800.000
Kr. Pendapatan bagi
hasil musyarakah Rp.
800.000
(20%
x 4.000.000)
- Tanggal 20 April 20XA Bapak Hendra
melaporkan laba bruto usahanya sebesar Rp.6.000.000 dan pada tanggal yang sama
membayarkan secara tunai porsi bank sebesar 20% dari laba bruto.
20/04/XA Db. Kas/Rekening nasabah Rp. 1.200.000
Kr. Pendapatan bagi
hasil musyarakah RP. 1.200.000
(20%
x 6.000.000)
- Tanggal 20 April 20XA, saat jatuh tempo,
Bapak Hendra melunasi pembiayaan musyarakah sebesar Rp. 30.000.000 via debit
rekening.
20/04/XA Db. Kas/Rekening nasabah Rp. 30.000.000
Kr. Pembiayaan musyarakah Rp.
30.000.000
Referensi
Lubis, Aswadi. (2016).
Agency Problem Dalam Penerapan Pembiayaan Akad Mudharabah Pada Perbankan
Syariah. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN.
Yaya, Rizal.dkk. 2014.
Akuntansi Perbankan Syariah : Teori dan Praktik Kontemporer Berdasarkan PAPSI
2013 Edisi 2. Jakarta : Salemba Empat
No comments:
Post a Comment